BercandaBersama Istri. Dalam Islam, ada keutamaan bercanda dengan istri yang sangat dianjurkan untuk dilakukan dalam kehidupan rumah tangga. Selain untuk membuat istri gembira, bercandanya seorang suami dengan istrinya dapat menjaga kemesraan dan kasih sayang dalam kehidupan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kerap bercanda Klasifikasi Keutamaan dan Adab. Adapun jika diketahui bahwa penanya bertanya untuk menguji dan bukan bertujuan untuk meminta bimbingan lalu mengetahuinya dan mengamalkannya; maka orang yang ditanya memiliki dua pilihan antara menjawab dan tidak, sedang dia tidak ditimpakan ancaman yang disebutkan dalam hadis ini. SebagaiamanaYusuf bin Al Husain berkata: بالأدب تفهم العلم. “Dengan mempelajari adab maka engkau akan memahami ilmu”. Guru penulis Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”. Seseorang yang memiliki adab yang baik Beliaumenjawab: "Memberi salam jika berjumpa dengannya, memenuhi undangannya jika ia mengundangmu, menasehatinya jika ia memintaimu nasehat, mendoakannya jika ia bersin kemudian memuji Allah, menjenguknya jika ia sakit, dan melayatnya (dan dalam riwayat lain: mengiringi jenazahnya) jika ia meninggal." HR Bukhari dalam Adab al-Mufrad (991). faedahmenyediakan • menjawab salam tetamu makanan dengan betul • sambut kedatangan tetamu 1. membuat bising • bermanis muka 1. bertambah keberkatan hidup 2. melawat terlalu lama akibat tidak mudah di fahami adab bertanya • melangkah kaki dengan sopan mengamalkan adab • memberi salam ketika bertemu perkara yang dilarang 1 Dalaminteraksinya dengan masyarakat, terutama murid-murid sendiri, seorang guru hendaknya memperhatikan adab-adab tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjdudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) sebagai berikut: AdabIslami A DAB ISLAMI Sesungguhnya Islam benar-benar menaruh perhatian yang sangat besar kepada manusia di dalam segala urusannya -agama dan dunianya- di saat lapang maupun sulitan, bangun maupun tidur, di kala bepergian maupun menetap, saat makan maupun minum, waktu bahagia maupun sedih. Singkat kata, tidak ada satu hal pun, baik kecil SOkOeO8. DALAM belajar kita membutuhkan panutan yang bisa mengajarkan ilmu. Dan dia adalah seorang guru. Ya, guru merupakan sosok yang mampu dan mau secara sukarela mentransfer ilmu kepada muridnya. Kita, sebagai orang yang menerima, perlu adanya keseriusan dalam menerima ilmu yang diberikan. Keseriusan dalam belajar, bukan hanya fkus pada materi pembelajaran saja. Guru pun perlu kita perhatikan. Sebab, gurulah yang mempunyai peran penting dalam pemberian ilmu kepada kita. Maka, ketika guru ada di depan kita, kita perlu memperhatikan ada-adab tertentu. Dan dalam Islam, sedikitnya ada 4 adab yang harus kita perhatikan. Apa sajakah itu? 1. Adab dalam Mendengarkan Pelajaran Bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaimana perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya jengkel. Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab seperti itu, tak didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita ketahui kisah Nabi Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum diizinkan. Juga para sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada di tengah mereka. Bahkan di riwayatkan Yahya bin Yahya Al-Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran. Yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain. Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu saat ini. Jangankan segerombol gajah yang lewat, sedikit suara pun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya. Belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya. 2. Adab Bertanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” QS. An-Nahl 43. Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat ini, dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan, serta mendapat keilmuan. Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di dalam Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Di dalam Al-Quran terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa Alihi Salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu, “Khidir menjawab, sungguh, engkau Musa tidak akan sanggup sabar bersamaku,” QS. Al-Kahfi 67. Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap ketinggian maqomnya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya percakapan berlangsung dan membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari Khidir. “Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya,” QS. Al-Kahfi 70. Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, “Barakallahu fiik”, atau “Jazakallahu khoiron”, dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata, “Tidaklah aku mengerjakan shalat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru-guruku semuanya.” 3. Adab Berbicara Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para Sahabat Nabi ﷺ, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut. Mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya. Bahkan, Umar bin Khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan Rasulullah. Di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara. Di hadis Abi Said Al-Khudry Radhiallahu Anhu juga menjelaskan, “Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah ﷺ kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara,” HR. Bukhari. 4. Adab Duduk Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.” Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.” Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya.” Keempat hal itu perlu untuk kita perhatikan. Sebab, guru adalah panutan. Guru sumber ilmu. Dan kita tidak tidak akan mengetahui akhlak mulia seorang guru dan ilmu bermanfaat darinya jika kita tidak melakukan ada-adab tersebut dengan baik. Oleh karena itu, raihlah keberkahan dalam menuntut ilmu dengan memperhatikan adab-adab kepada guru. [] SUMBER Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan mengucapkan salam, baik saat memasuki rumah orang lain mau pun bertemu sahabat di jalan. Bahkan Allah SWT melarang umat Islam masuk ke rumah orang lain sebelum mengucapkan salam. Seperti hadits dibawah yang menjelaskan tentang فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ Artinya“…Maka apabila kamu memasuki suatu rumah hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri…” QS an-Nur [24] 61. Allah SWT berfirman di dalam Surat An-Nur ayat 27 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Keutamaan mengucap salam juga diriwayatkan dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih dari Abdullah bin Amr bin al-Ash,” Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, Islam apakah yang paling baik?’ Beliau Rasulullah SAW menjawab, Engkau memberi makan, dan mengucap salam kepada orang yang kamu kenal maupun orang yang tidak kamu kenal.” Betapa pentingnya meminta izin sebelum memasuki sebuah rumah yang bukan milik sendiri. Cara ini merupakan salah satu kaidah dalam bersilaturahim. Dan, begitu indah akhlak seseorang yang selalu mengawali ucapan salam kepada siapa pun yang ditemuinya. Sabda rasullullah وعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Kaidah salam yang lain juga mengatur rendah dan tingginya suara saat mengucapkan salam. rutama ketika malam hari. Mengucapkan salam harus dengan suara rendah dan lembut selama dapat didengar oleh orang yang masih terjaga. Dengan kata lain, apabila mengucapkan salam pada malam hari selama bukan urusan yang amat penting dan mendesak, tidak boleh mengganggu orang yang sedang tidur apalagi membangunkannya. Adab Mengucapkan Salam Diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah hadits dengan derajat Muttafaq alaih, Rasulullah SAW bersabda “Yang muda memberi salam kepada yang tua. Yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang lebih banyak.” Di dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda “Dan anak kecil mengucapkan salam kepada yang lebih besar.” Adapun hadits dari Nabi SAW yang berbunyi وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {مَنْ بَدَأَ بِالسَّلَامِ فَهُوَ أَوْلَى بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ Nabi SAW bersabda, “Siapa yang memulai salam ketika bertemu dengan orang, maka ia lebih utama menurut Allah dan Rasul-Nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dari sahabat Abu Umamah Hadis Keempat وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {السَّلَامُ مِنْ أسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَضَعَهُ اللهُ فِى الْأَرْضِ فَأَفْشُوْهُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ الْمُسْلِمَ إِذَا مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدُّوْا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيْرِهِ إيَّاهُم السَّلَام، فَإِنْ لَمْ يَرُدُّوْا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُ Nabi SAW bersabda, “Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah ta’ala yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya kepada mereka dengan salam. jika mereka tidak menjawab salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan lebih bagus telah menjawab salamnya.” Memberikan salam kepada saudara muslim sangat dianjurkan, lalu bagaimanakah hukum menjawab salam dari seorang muslim? Adapun hukum menjawab salam adalah wajib. Hal ini dipertegas dalam surat An-Nisa ayat 86, dimana Allah SWT berfirman وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا Artinya “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. Selain itu menjawab salam kepada sesama muslim adalah hal baik bagi orang yang mengucapkan salam tersebut untuk dijawab atau dibalas. Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda حقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ “Hak sesama Muslim ada lima membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya dan ber-tasymit ketika ia bersin” HR. Bukhari Muslim Ucapan salam disebut juga tahiyyatul islam dan sesungguhnya ucapan salam ini jauh lebih baik dari pada sebuah sapaan gaul. Seperti yang saat ini umum digunakan oleh generasi muda yang telah dirasuki oleh tradisi budaya barat. Naudzubillah. Bagaimana Jika Salam yang Tidak Dijawab? Apabila kita mengucapkan salam berarti kita sedang mendoakan keselamatan kepada orang yang kita berikan salam. Adapun doa ini akan dibalas oleh doa malaikat untuk orang yang mengucapkan salam. Walaupun orang yang kita berikan salam tidak menjawab salam kita. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda “Ucapan salammu kepada orang-orang jika bertemu mereka, jika mereka membalasnya, maka Malaikat pun membalas salam untukmu dan untuk mereka, namun jika mereka tidak membalasnya, maka Malaikat akan membalas salam untukmu, lalu malah melaknat mereka atau mendiamkan mereka”. Macam-macam Adab Salam Mengucapkan salam. Saat bertemu dan berpisah. Salam hendaknya didengar pihak yg diberi salam. Salam secara lengkap lebih baik. Segera bersalam sebelum didahului yg lain yang muda bersalam kepada yg tua. Hindari salam kepada mereka yg membuang hajat. Tidak bersalam kepada orang kafir. Ada hukum bersalaman dengan non muslim yang patut kamu ketahui. Demikianlah adab-adab yang bisa kita perhatikan dalam mengucapkan dan menjawab salam. Semoga menambah wawasan kita bersama. Apakah adab-adab bertanya yang perlu kita ketahui dan amalkan? Artikel ini akan membahaskan 10 adab bertanya yang perlu dipelajari oleh kita. Pengenalan Bertanya merupakan satu perkara yang penting untuk akses kepada pengetahuan. Tanpa bertanya, kitatidak akan mendapat apa-apa jawapan. Seperti pepatah orang Melayu, “Malu bertanya, sesat jalan.” Setiap manusia mempunyai rasa ingin tahu. Ingin tahu tentang sesuatu. Jadi, macam mana hendak menjadi tahu? Jawabnya, haruslah bertanya. Namun, ada orang pernah berkata, banyak bertanya itu boleh membawa kepada kesesatan. Betulkah? Dalam Surah an-Nahl ayat 43, Allah berfirman Oleh itu bertanyalah kamu wahai golongan musyrik kepada orang-orang yang berpengetahuan agama jika kamu tidak mengetahui. Ayat ini jelas memberitahu kita untuk bertanya kepada pakar atau orang yang tahu sekiranya kita tidak tahu. Jadi, ia merupakan galakkan untuk bertanya supaya kita dapat akses kepada ilmu. Kisah Tauladan Tentang Adab Bertanya Terdapat satu kisah, seorang sahabat keluar bermusafir lalu luka. Selepas luka itu pula, dia mimpi malam lalu keluar air mani. Disebabkan itu, dia hendak bertayamum kerana kalau kena air, ia akan membahayakan luka itu tadi. Sahabat seorang lagi tidak benarkan. Sampailah, dia tetap menggunakan air seperti biasa dan akhirnya meninggal dunia. Cerita ini sampai kepada Rasulullah. Jawab Rasulullah Mereka telah membunuhnya dan Allah akan membunuh mereka. Kenapakah mereka tidak bertanya sekiranya tidak tahu? Hanya dengan bertanya boleh menghilangkan keraguan. Sebenarnya memadai dia bertayamum dan membalut lukanya dengan kain perca, seterusnya menyapu air di atas balutan dan mandi ke seluruh badannya. Riwayat Abu Daud Kalau tidak tahu, kena tanya dahulu. Bukannya memandai-mandai. Menjaga Adab Bertanya Jadi, bilamana yang tidak boleh bertanya? Mudahnya, bilamana ia tidak akan membawa manfaat. Allah berfirman dalam Surah al-Maidah ayat 101 Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu bertanyakan kepada Nabi perkara-perkara yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu, dan jika kamu bertanya mengenainya ketika diturunkan Al-Quran, tentulah akan diterangkan kepada kamu. Allah maafkan kamu dari kesalahan bertanyakan perkara-perkara itu yang tidak dinyatakan di dalam Al-Quran; kerana Allah Maha pengampun, lagi Maha penyabar. Kadang-kadang, terdapat orang yang ingin menunjukkan “pengetahuannya” lalu bertanya soalan yang bukan-bukan dan tidak berfaedah. Ini merupakan 10 adab bertanya 1-Ucapkan Salam Pembuka komunikasi merupakan satu entiti yang penting. Ia penting untuk membina hubungan yang harmoni sebelum perbualan pergi lebih jauh. Allah berfirman dalam Surah Yunus ayat 10 Dan ucapan penghormatan mereka padanya ialah Selamat sejahtera. Menurut pakar bahasa Melayu, Prof. Asmah Haji Omar memanggil ini sebagai pembuka komunikasi. Ia amat penting untuk menjamin kelangsungan suatu peristiwa komunikasi. 2- Gunakan Pertuturan Yang Santun Allah berfirman dalam Surah Taha ayat 44 Maka hendaklah kamu berdua berkata kepadanya dengan ucapan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia mengambil peringatan atau berasa takut. Sebelum bertanya, hendaklah kita pastikan nada suara dan gaya pertuturan kita itu santun. Pertuturan yang biadab akan menghadirkan rasa tidak senang kepada teman bicara. 3- Minta Izin Mintalah izin sebelum bertanya, mungkin pertanyaan itu boleh mengganggu teman bicara dan sebagainya. Meminta izin menunjukkan ketinggian budi kita sebagai manusia biasa. 4- Lihat Keadaan Pastikan keadaannya sesuai untuk bertanya soalan tersebut. Janganlah bertanya dalam situasi-situasi yang sensitif sebagai contoh. Misalnya, apabila terdapat kematian, janganlah kita bertanya macam-macam kepada keluarga si mati seperti kita tidak empati dengan keadaan mereka yang sedang bersedih. 5- Jaga Sensitiviti Sensitiviti perlu dijaga. Contohnya, isu perkauman, politik, agama dan sebagainya. Tanyalah dalam situasi yang tepat. Contoh situasi, dalam kuliah perbandingan agama. Bolehlah kita bertanya tentang agama orang lain dan sebagainya. Janganlah kita tanya soalan berkenaan di kenduri kahwin pula. Ia tidak sesuai. 6- Tanyalah Soalan Yang Munasabah Munasabah di sini ialah soalan tersebut betul-betul berkaitan. Bukannya untuk mengorek rahsia, peribadi dan aib seseorang, memperolok-olokkan dan lain-lain. Lihat Surah al-Isra’ ayat 85 Dan mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” Ayat ini menunjukkan soalan yang tidak munasabah. Kalau kita tahu tentang keadaan roh itu pun, apa yang akan terjadi? Apakah iman kita akan bertambah kuat? Adakah kita akan lebih beragama dan sebagainya? Ayat ini menceritakan sekumpulan orang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah. Namun, pertanyaan itu tidak munasabah dan tidak boleh menghasilkan apa- apa ilmu. Apatah lagi ia berkait tentang alam ghaib. 7- Jangan Melakukan Provokasi Kadang-kadang, ada juga orang yang bertanya sengaja buat provokasi kepada seseorang. Ini tidak elok. Bertanyalah dengan tujuan yang murni. Untuk mendapatkan jawapan supaya puas hati dan sebagainya. Bukannya untuk menjatuhkan seseorang, membuat seseorang berasa terancam dan sebagainya. 8- Pilihlah Perkataan Yang Betul Untuk bertanya pun, mesti menggunakan perkataan yang betul. Tidak boleh kita secara semberono bertanya. Mungkin perkataan yang kita tidak sedar kita gunakan itu boleh menyinggung perasaan orang lain. 9- Jangan Menyampuk Apabila kita bertanya, kita perlu berikan giliran bercakap kepada orang yang menjawab. Janganlah kita memotong ketika dia sedang bercakap. Berikan dia masa untuk habis menjawab. 10- Ucapkan Terima Kasih Rasulullah bersabda Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi sesiapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia. Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi Sebagai penutup, kita hendaklah berterima kasih kepada jawapan-jawapan yang diberikan kepada orang yang menjawab. Adab-Adab Lain Yang Perlu Diketahui Rujukan 5 adab ketika bertanya -getaran. myUcapan Salam myBanyak bertanya dalam konteks seorang pelajar -irsyad fatwa my Berikut ini nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Bin Abdul Aziz Alu Syaikh –hafizhahullah– tentang adab-adab bertanya kepada ahli ilmu, yaitu para ulama, ustadz, thalibul ilmi, atau orang-orang yang dipercayai keilmuannya. Penjelasan ini beliau sampaikan secara lisan dalam sebuah ceramahnya. Beliau berkataAda beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada ahli ilmu. Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa bermacam-macam keadaan. Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta keadaan yang berkaitan dengan orang yang bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar –Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya, diantaranyaPersiapkan pertanyaan dengan baik Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris bawahi bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah keraguan lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, langsung ia menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Ketika ia hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan beberapa rincian saja, lalu berkata “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab “Saya tidak tahu“.Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum bertanya. Karena pertanyaan yang anda tanyakan adalah tentang hukum Allah Jalla Wa Ala, yang jika anda mendapatkan jawabannya anda akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas, bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?Memperhatikan waktu ahli ilmu Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang sesingkat mungkin. Jangan anda mengira bahwa orang yang biasa ditanya masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi yang dapat menjawab pertanyaan, jangan anda mengira mereka itu hanya ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon, pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki untuk melayani ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat. Dengan kata lain, jangan anda berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya atau dijawab pertanyaannya hanyalah anda satu-satunya. Bahkan hendaknya anda menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas, jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, anda lihat bahwa pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan dalil anjurkan untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril Alaihissalam bertanya kepada Nabi “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“, dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya. Inilah adab yang mestinya yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu jawaban akan bertanya yang sudah diketahui Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda orang yang tidak tahu- atau untuk mengajak diskusi. Karena bukan itu tugas seorang anda pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya aku akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran. Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak seorang ulama, kecuali jika anda memaparkan bahwa anda ingin meminta bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, anda memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan untuk diminta fatwa dari sang mufti, anda bertanya, mufti menjawab dan gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirmanفَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ“Bertanyalah kepada ahli dzikir jika engkau tidak tahu” Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut. Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana perkataan para ulamaينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه“Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya”Jika anda percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika anda bertanya kepada yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat anda anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, apakah jawaban yang membuat anda puas bukanlah yang cocok dengan kondisi anda, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena anda berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak, namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibatMembuang-buang waktu orang alimDapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang bertanya “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”. Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira, jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang alim ini menjawab secara umum kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia. Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika anda bertanya, janganlah bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid, tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu dapat menjauhkan anda dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika anda memutar-mutar pertanyaan, anda akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat anda belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena anda yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika anda menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, anda belum bebas dari bebanDari hal ini, saya memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang untuk diri sendiri Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Banyak penanya yang berkata “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata “Jika Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”. Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”. Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya tahu sebatas pertanyaan singkat yang terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini. Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’ demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan. Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini tidak ada kesamaran dalam konteks terburu-buru minta dijawab dengan segera Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika anda bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon, janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan. Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika anda memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan anda mengatakan “Semoga Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka anda telah melakukan adab yang jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya kurang jelas, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”. Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian? Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang berupa rekaman syarah penjelasan tentang suatu masalah, seharusnya di serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat, berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda. Oleh karena itu, jika anda perhatikan anda akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang anda dengar dari acara Nuurun Ala Darb. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil rincian, dalil pendalilan lain, ta’lil sisi alasan lain, atau semacamnya. Sehingga pada acara Nuurun Ala Darb misalnya, beliau akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap anda lewat telepon cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, secara ringkas”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang. Skip to content HomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah IslamHomeLandasan AgamaFikih dan MuamalahNasihat HatiNasihat UlamaSejarah Islam 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED 1. Ikhlaskan diri karena Allah ﷻ dalam bertanya untuk mengetahui suatu masalah. 2. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu, atau menurut perkiraannya yang kuat dia mampu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. 3. Memulai pertanyaan dengan salam. “Ucapkan salam sebelum bertanya. Siapa saja yang bertanya kepada kalian sebelum dia mengucapkan salam, maka janganlah kalian menjawabnya.” [HR. Ibnu an-Najar, hadis dari Jabir, lihat Shahiihul Jaami’ no. 3699 dan HR. Ibnu Adi dalam al-Kaamil II/303, hadis dari Ibnu Umar, lihat ash-Shahiihah no. 816] Para sahabat pernah bertanya tanpa ucapan salam, tapi tetap dijawab oleh Rasulullah ﷺ. Maka dipahami, bahwa mengucapkan salam sebelum bertanya bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sangat dianjurkan, dan telah menghidupkan Sunnah. 4. Hendaknya memerbagus pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat, yang akan menunjukkan kepada berbagai kebaikan, dan mengingatkan dari segala kejelekan. 5. Gunakanlah bahasa yang penuh sopan santun, lemah lembut, dan tidak mengandung penghinaan serta kemarahan. 6. Ketika telah selesai menulis pertanyaan, maka sampaikanlah ucapan terima kasih, serta mendoakan ustadz yang nanti akan menjawabnya. 7. Janganlah mengadu domba di antara ahli ilmu. Seperti berkata “Tapi ustadz, Fulan telah berkata begini dan begitu.” Dan cara seperti ini termasuk kurang beradab dan sangat tidak sopan. Hati-hatilah terhadap hal seperti ini. Tetapi jika memang harus melakukannya, maka hendaknya berkata “Bagaimanakah pendapatmu tentang ucapan yang telah mengatakan begini dan begitu?” TANPA menyebut nama orang yang mengucapkan. 8. Hendaknya bersabar dalam menunggu jawabannya yang telah diajukan. Karena bisa jadi ustadz tersebut sedang sibuk dengan berbagai aktivitasnya, atau sedang beristirahat, sakit, melayani tamu, safar dll. 9. Janganlah menceritakan aib atau dosa yang pernah dilakukan sendiri, keluarga, atau orang lain, sehingga diketahui oleh semua anggota group di sosial media. Apabila masalah itu harus juga disampaikan karena ingin untuk mendapatkan solusi dan pencerahan, maka hendaknya disampaikan secara pribadi saja kepada ustadz tertentu, yang dianggap bisa memberikan solusi dan menyimpan rahasia. 10. Hendaknya siapapun yang bertanya tidak marah atau tersinggung ketika sedang diluruskan pemahamannya, atau dari cara bertanyanya yang salah dll. Ibnu Qudamah رحمه الله berkata “Dahulu kaum salaf sangat senang ada orang yang mau mengingatkan kekurangan mereka. Akan tetapi kita sekarang pada umumnya sangat membenci kepada orang yang telah mengingatkan kekurangan kita.” [Minhajul Qashidin hal 196] 11. Janganlah bertanya hanya sekadar untuk menambah wawasan tanpa mau mengamalkan. Atau sekadar mencari-cari keringanan hukum. Misalnya penanya bertanya kepada seorang ustadz. Karena jawabannya tidak berkenan dalam hatinya, lalu dia pun bertanya lagi ke ustadz lainnya. Dan apabila jawabannya sesuai dengan hawa nafsunya, maka ia pun menerimanya. Ini merupakan bukti bahwa penanya tidak menghendaki syariat, kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. 12. Jangan merendahkan dan melecehkan ustadz, seandainya ia tidak bisa menjawab pertanyaan. Yaqut al-Hamawi رحمه الله berkata “Orang alim ulama/ustadz pasti ada saja yang tidak diketahuinya. Bisa saja pas dia tidak mengetahui jawaban terhadap masalah yang ditanyakan kepadanya, mungkin karena masalah tersebut belum pernah didengar sebelumnya, atau karena dia lupa.” [Irsyaad al-Ariif 1/24] Contoh cara bertanya yang terbaik السلام عليكم و رحمة الله و بركاته Afwan ustadz, saya mau bertanya, mengapa diri ini yang selalu saja cenderung kepada dosa dan maksiat, serta sulit diajak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya? Padahal saya sudah berusaha keras untuk senantiasa menghadiri majelis ilmu, dan berdoa kepada Allah taala agar dikuatkan iman. Semoga ustadz dan keluarga selalu dirahmati dan diberkahi Allah taala. Penulis Ustadz Najmi Umar Bakkar najmiumar_official Ikuti kami selengkapnya di WhatsApp +61 450 134 878 silakan mendaftar terlebih dahulu Website Facebook Instagram NasihatSahabatCom Telegram Pinterest 12 ADAB BERTANYA DI SOSMED Related Posts

adab bertanya dan menjawab